Pasal Yang Kontroversial Dalam UU TNI Yang Di Sahkan Pada 20 Maret 2025 Mengandung Beberapa Pasal Kontroversial Yang Memicu Perdebatan. Salah satu pasal yang paling banyak di perbincangkan adalah Pasal 3. Yang menyatakan bahwa dalam kebijakan dan strategi pertahanan, TNI berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Perubahan ini di anggap dapat mengaburkan batas antara kewenangan sipil dan militer. Serta menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi militer yang pernah mendominasi era Orde Baru.
Selain itu, Pasal 47 juga menjadi sorotan karena memperbolehkan prajurit aktif untuk menduduki lebih banyak jabatan sipil. Dari 10 menjadi 16 lembaga pemerintahan. Hal ini di anggap berpotensi mengurangi supremasi sipil dan menciptakan konflik kepentingan. Di mana militer dapat terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan administratif yang seharusnya menjadi ranah sipil.
Pasal 35 mengenai batas usia pensiun prajurit TNI juga menimbulkan kontroversi. Dalam revisi ini, usia pensiun bervariasi tergantung pangkat. Dengan perwira tinggi dapat pensiun hingga usia 62 tahun. Perubahan ini di anggap dapat memperpanjang masa dinas prajurit aktif. Yang berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara militer dan sektor sipil.
Kekhawatiran lain muncul dari Pasal 7, yang memberikan wewenang kepada TNI untuk mengatasi gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata. Pasal ini di anggap terlalu luas dan dapat di salahgunakan untuk melakukan tindakan represif terhadap masyarakat sipil yang di anggap mengancam stabilitas negara.
Secara keseluruhan, pasal-pasal kontroversial dalam UU TNI 2025 mencerminkan ketegangan antara kebutuhan akan keamanan nasional dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Banyak pihak, termasuk akademisi dan aktivis. Menilai bahwa revisi ini berpotensi membawa Indonesia kembali ke era di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan politik dan sosial. Oleh karena itu, pengawasan publik dan transparansi dalam implementasi UU ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tidak merugikan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pasal Yang Kontroversial Mengancam Demokrasi Apa Saja?
Pasal Yang Kontroversional Mengancam Demokrasi Apa Saja?, Revisi Undang-Undang TNI yang di sahkan pada 20 Maret 2025 mengandung beberapa pasal kontroversial yang di anggap mengancam prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Salah satu pasal yang paling banyak di perbincangkan adalah Pasal 7, yang mengatur tentang pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Pasal ini memberikan wewenang kepada TNI untuk terlibat dalam berbagai tugas non-militer. Seperti penanggulangan bencana dan ancaman siber, namun tanpa pengawasan yang memadai dari DPR. Hal ini di khawatirkan dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan memperlemah kontrol sipil terhadap militer.
Selanjutnya, Pasal 47 menjadi sorotan karena memperluas jumlah jabatan sipil yang dapat di isi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 16 lembaga. Penempatan prajurit dalam jabatan sipil ini di anggap berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi TNI. Di mana militer dapat terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan administratif. Banyak pihak berpendapat bahwa langkah ini mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Sehingga merusak supremasi sipil yang merupakan pilar demokrasi.
Pasal 3 juga tidak luput dari kritik, di mana menyatakan bahwa TNI berkedudukan di bawah Presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Penempatan TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan menimbulkan kekhawatiran akan konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif. Yang dapat mengurangi akuntabilitas TNI terhadap masyarakat. Hal ini berpotensi menciptakan situasi di mana keputusan-keputusan penting terkait keamanan negara tidak melibatkan partisipasi publik atau pengawasan legislatif.
Secara keseluruhan, pasal-pasal kontroversial dalam UU TNI 2025 menunjukkan potensi ancaman terhadap demokrasi di Indonesia. Tanpa pengawasan yang ketat dan komitmen terhadap prinsip-prinsip supremasi sipil. Revisi ini dapat membawa kembali praktik-praktik otoritarianisme yang telah berusaha di hindari sejak reformasi 1998. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil untuk terus memantau implementasi undang-undang ini agar hak-hak demokratis tetap terjaga.
Lemahnya Mekanisme Pengawasan Dalam UU TNI
Lemahnya Mekanisme Pengawasan Dalam UU TNI, Revisi Undang-Undang TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan sipil terhadap militer. Yang dapat mengancam demokrasi di Indonesia. Salah satu masalah utama terletak pada Pasal 7, yang mengatur tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam revisi ini, OMSP tidak lagi di laksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Melainkan dapat di lakukan melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang tidak memerlukan keterlibatan DPR. Hal ini menciptakan celah bagi militer untuk bertindak tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga legislatif. Sehingga mengurangi kontrol sipil atas tindakan militer.
Selain itu, Pasal 47 yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil dari sebelumnya juga menimbulkan kekhawatiran. Dengan penambahan jumlah lembaga sipil yang dapat di isi oleh prajurit TNI. Ada risiko bahwa militer akan terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan administratif, yang seharusnya menjadi tanggung jawab sipil. Ini berpotensi mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Serta melemahkan supremasi sipil yang merupakan pilar utama demokrasi.
Kelemahan mekanisme pengawasan ini juga terlihat dalam kurangnya akuntabilitas bagi anggota TNI yang terlibat dalam jabatan sipil. Dengan lebih banyak prajurit aktif di posisi strategis. Ada kekhawatiran bahwa tindakan mereka akan sulit di pertanggungjawabkan, terutama dalam hal pelanggaran hak asasi manusia atau penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki kekuasaan lebih besar dalam ranah sipil. Risiko penyalahgunaan wewenang meningkat.
Kesimpulannya, lemahnya mekanisme pengawasan dalam UU TNI 2025 dapat mengarah pada situasi di mana militer beroperasi tanpa batasan yang jelas dari otoritas sipil. Hal ini berpotensi merusak fondasi demokrasi dan menimbulkan ketegangan antara masyarakat sipil dan institusi militer di Indonesia. Oleh karena itu, pengawasan publik dan transparansi dalam implementasi undang-undang ini sangat penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga.
Mengapa Masyarakat Indonesia Harus Menolak UU TNI Ini
Mengapa Masyarakat Indonesia Harus Menolak UU TNI Ini yang di sahkan pada 20 Maret 2025 karena sejumlah alasan yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Pertama, revisi ini berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi TNI, yang pernah menjadi ciri khas era Orde Baru. Dengan memperbolehkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, dari 10 menjadi 16 lembaga. Ada risiko bahwa militer akan terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan administratif, yang seharusnya menjadi ranah sipil. Hal ini dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Serta melemahkan supremasi sipil yang merupakan pilar utama demokrasi.
Kedua, revisi UU TNI ini juga di anggap memperkuat impunitas bagi anggota TNI. Dengan lebih banyak prajurit aktif di posisi strategis, tindakan mereka dapat sulit di pertanggungjawabkan. Terutama dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki kekuasaan lebih besar dalam ranah sipil, risiko penyalahgunaan wewenang meningkat. Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang efektif. Tindakan represif terhadap masyarakat sipil bisa terjadi tanpa konsekuensi.
Ketiga, revisi ini bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap instrumen hak asasi manusia internasional. Banyak organisasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menekankan bahwa revisi ini tidak sejalan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR) serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dengan demikian, revisi UU TNI tidak hanya mengancam profesionalisme militer tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB.
Secara keseluruhan, penolakan terhadap UU TNI 2025 adalah langkah penting untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus bersatu untuk menuntut pembatalan revisi ini agar prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia tetap terjaga serta untuk memastikan bahwa sejarah kelam tidak terulang kembali. Inilah beberapa pemaparan yang bisa mimin jelaskan mengenai Pasal.