Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan
Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan

Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan

Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan
Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan

Sejarah 4 Pulau Di Perbatasan Aceh Sumut Yang Di Perebutkan Telah Menjadi Persoalan Lama Yang Kembali Memanas. Hal ini terjadi setelah keputusan pemerintah pusat pada April 2025. Keempat pulau yang di sengketakan adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Berdasarkan pertimbangan letak geografis yang dekat dengan pantai Sumut.

Namun, Pemerintah Aceh menolak keputusan tersebut. Karena secara historis dan administratif pulau-pulau itu merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Bukti yang di gunakan Aceh untuk mengklaim wilayah tersebut antara lain dokumen Sejarah. Peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut yang di saksikan Mendagri pada 1992, surat kepemilikan tanah tahun 1965. Serta adanya tugu dan prasasti yang menandakan keterikatan pulau-pulau tersebut dengan Aceh. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa secara historis keempat pulau itu memang masuk wilayah Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Tentang pemisahan Aceh dari Sumut dan Perjanjian Helsinki 2005.

Sengketa ini bermula pada 2008 ketika Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi melakukan verifikasi pulau-pulau di Indonesia dan tidak memasukkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh. Pada 2017, Kemendagri menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Sumut setelah analisis spasial. Yang kemudian di perkuat dengan keputusan resmi pada 2025. Aceh mengajukan somasi dan menolak keputusan tersebut. Sementara Sumut menganggap keputusan pemerintah pusat sudah final.

Sengketa ini bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga menyangkut identitas, sejarah. Dan kedaulatan daerah yang memicu ketegangan sosial dan politik di masyarakat kedua provinsi. Hingga kini, penyelesaian sengketa masih berlangsung dan menjadi perhatian pemerintah pusat untuk mencari solusi yang adil dan damai bagi kedua belah pihak.

Sejarah 4 Pulau Dari Masa Kolonial Ke Republik

Sejarah 4 Pulau Dari Masa Kolonial Ke Republik, sejarah empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar. Dan Pulau Mangkir Kecil—bermula sejak masa kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga era Republik Indonesia. Pada abad ke-19, peta resmi karya kartografer Hindia Belanda. Hermann von Rosenberg tahun 1853, dengan jelas menunjukkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratif Aceh Singkil.

Setelah masa kolonial, jejak administrasi pulau-pulau ini terus berlanjut dalam dokumen resmi Indonesia. Pada tahun 1965, Kepala Inspeksi Agraria Aceh Selatan mencatat secara resmi keempat pulau tersebut sebagai bagian wilayah Aceh. Kemudian pada 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara menandatangani kesepakatan batas laut. Yang juga memasukkan keempat pulau itu ke dalam zona Aceh. Memperkuat klaim administratif dan historis Aceh atas pulau-pulau tersebut.

Namun, sengketa mulai mencuat kembali pada 2008. Ketika Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi melakukan verifikasi pulau-pulau di Indonesia dan tidak memasukkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh. Pada 2017, Kementerian Dalam Negeri menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara berdasarkan pertimbangan letak geografis yang lebih dekat ke pantai Sumut. Meskipun Aceh menolak keputusan ini karena menganggapnya mengabaikan bukti sejarah dan dokumen yang sudah ada.

Sengketa ini bukan hanya soal batas administratif. Tetapi juga menyangkut identitas dan harga diri masyarakat Aceh yang sudah lama mengenal pulau-pulau itu sebagai bagian dari wilayah mereka. Infrastruktur seperti tugu batas, dermaga, mushola. Dan makam aulia yang di bangun Aceh di pulau-pulau tersebut menjadi bukti keterikatan sosial dan budaya yang kuat.

Singkatnya, sejarah empat pulau ini adalah perjalanan panjang dari masa kolonial hingga era modern yang menunjukkan kelekatan historis dan administratif pulau-pulau itu dengan Aceh. Sekaligus menjadi akar sengketa yang masih berlangsung hingga kini.

Surat-Surat Resmi Dan Keputusan Pemerintah

Surat-Surat Resmi Dan Keputusan Pemerintah, sejarah administratif empat pulau sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) di dukung oleh sejumlah surat resmi dan keputusan pemerintah yang menjadi jejak penting dalam klaim kepemilikan kedua provinsi. Pemerintah Aceh mengandalkan dokumen-dokumen lama sebagai landasan yuridis atas pengelolaan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Salah satu dokumen utama adalah Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh Nomor 125/IA/1965 tanggal 17 Juni 1965. Yang secara administratif di keluarkan oleh instansi di Provinsi Aceh. Membuktikan pengelolaan pulau-pulau tersebut oleh Aceh sejak lama.

Selain itu, Aceh juga menyerahkan surat kuasa tertanggal 24 April 1980 dan peta topografi TNI Angkatan Darat tahun 1978 yang menunjukkan posisi keempat pulau berada di wilayah Aceh. Dokumen penting lainnya adalah Surat Kesepakatan Bersama tahun 1992 yang di tandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar. Di  saksikan Menteri Dalam Negeri.

Aceh juga memiliki bukti fisik berupa prasasti dan tugu yang di bangun di Pulau Mangkir Ketek pada tahun 2008 dan 2018. Serta surat kepemilikan dermaga dan surat tanah dari tahun 1965. Yang semuanya menegaskan pengelolaan pulau oleh Aceh selama puluhan tahun. Namun, pada tahun 2017. Kementerian Dalam Negeri menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumut berdasarkan hasil verifikasi spasial dan analisis administratif yang lebih mengacu pada letak geografis pulau yang lebih dekat ke pantai Sumut.

Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang pemberian dan pemutakhiran kode wilayah administrasi secara resmi memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Meskipun Aceh menolak keputusan ini dan mengajukan somasi.

Secara keseluruhan, surat-surat resmi dan keputusan pemerintah ini mencerminkan adanya jejak administratif yang kuat dari kedua belah pihak, namun interpretasi dan penegakan dokumen tersebut yang menjadi sumber sengketa berkepanjangan antara Aceh dan Sumut.

Pulau Yang Di Lupakan Atau Di Perebutkan?

Pulau Yang Di Lupakan Atau Di Perebutkan?, Sengketa empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) menunjukkan dinamika perhatian pemerintah yang berubah-ubah sepanjang waktu, seolah pulau-pulau tersebut sempat terlupakan sebelum kembali menjadi sengketa panas. Sejak awal kemunculannya pada 1928. Keempat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—secara historis masuk dalam wilayah administrasi Aceh. Meskipun secara geografis dekat dengan pantai Sumut.

Pada 2008, perhatian pemerintah meningkat ketika Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melakukan verifikasi dan pembakuan pulau-pulau di Indonesia. Dalam proses ini, empat pulau sengketa tidak di masukkan dalam daftar pulau Aceh. Melainkan tercatat sebagai bagian dari Sumut, yang kemudian di perkuat dengan surat resmi Gubernur Sumut pada 2009. Hal ini memicu ketegangan karena Aceh merasa klaim historis dan bukti fisik. Seperti prasasti, dermaga, dan musala yang di bangun di Pulau Panjang sejak 2012 tidak di perhitungkan secara adil.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 2025 mengeluarkan keputusan resmi yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai wilayah Sumut. Berdasarkan kajian letak geografis dan pertimbangan berbagai instansi pemerintah. Meski demikian, pemerintah pusat mengaku terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum dari pihak yang tidak puas, termasuk Aceh.

Selama ini, perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau ini cenderung fluktuatif. Dengan periode di mana pulau-pulau tersebut kurang mendapat perhatian serius hingga munculnya sengketa administratif yang memuncak belakangan ini. Gubernur Sumut bahkan mengajak Aceh untuk berdialog guna mencari solusi bersama. Namun Aceh tetap mempertahankan klaimnya berdasarkan bukti historis dan sosial yang kuat.

Singkatnya, empat pulau ini sempat “di lupakan” dalam pengelolaan wilayah selama beberapa dekade. Namun kembali menjadi fokus sengketa karena perubahan kebijakan administratif dan kepentingan politik kedua provinsi, yang memperlihatkan betapa kompleks dan sensitifnya masalah batas wilayah di Indonesia. Inilah beberapa penjelasan yang bisa kamu ketahui mengenai Sejarah.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait